Monday, August 21, 2006

39 Tahun ASEAN, Perjalanan Jadi Milik Rakyat

Tak terasa 39 tahun sudah usia Perhimpunan Bangsa- bangsa Asia Tenggara atau ASEAN. Jika diibaratkan manusia, usia itu terbilang tidak lagi muda, bahkan mendekati paruh baya. Akan tetapi, tidak demikian dengan ASEAN. Mendekati usia ke-40, ASEAN bergerak mengikuti kiasan yang sudah sering kita dengar bahwa hidup yang sesungguhnya bermula dari usia 40 tahun. Sebagaimana disampaikan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda, memasuki usia ke-40 ASEAN justru memulai perjalanan baru yang tidak mudah untuk menjadi perhimpunan bagi seluruh rakyat ASEAN yang dicanangkan dicapai pada tahun 2020.

Target Komunitas ASEAN 2020 yang tinggal 14 tahun lagi itu memang masih menjadi tanda tanya besar, apakah bisa dicapai pada waktunya atau tidak. Yang jelas, sebuah langkah awal telah diambil ASEAN untuk mengubah perhimpunan yang sering kali dianggap pertemuannya pejabat-pejabat pemerintahan negara-negara ASEAN menjadi perhimpunan bagi bertemunya seluruh rakyat di kawasan Asia Tenggara. Sebagaimana diakui Dirjen Kerja Sama ASEAN Deplu RI Dian Triansyah Djani, memang masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, tetapi ASEAN sejauh ini terus bergerak ke arah yang ditujunya.

Inti pertanyaan sekarang adalah bagaimana menjadikan ASEAN sebagai milik bersama seluruh rakyat Asia Tenggara? Dibalik pertanyaan itu memang ada suatu pengakuan bahwa ASEAN belum dianggap sebagai milik rakyat Asia Tenggara. Faktanya, di Jakarta saja sangat banyak warga yang tidak merasa punya hubungan apa-apa dengan ASEAN, merasakan manfaat dari ASEAN, apalagi terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan ASEAN.

Apa itu berarti ASEAN tidak bermanfaat sama sekali? Menlu Hassan menegaskan, kita di ASEAN ini sering kali melupakan berkah kedamaian dan ketenangan tinggal di kawasan ini selama 39 tahun. Seolah-olah kedamaian dan relatif ketenangan itu adalah sesuatu yang ada begitu saja.

Padahal, jika melihat sejarahnya, ASEAN justru didirikan ketika konfrontasi RI-Malaysia baru saja selesai. Saat ini pun, negara-negara pendiri ASEAN juga mempunyai konflik satu sama lain.

"Jadi, kalau selama 39 tahun itu terkesan kita cuma duduk dan ngobrol-ngobrol saja, kalau kita bandingkan sekarang dengan situasi di Timur Tengah maupun di Asia Timur, bisa duduk dan ngobrol itu sesuatu yang mewah. Di Semenanjung Korea, untuk bisa duduk bersama dan berbicara itu tidak mudah. Apalagi di Timur Tengah. Bahkan pada pertemuan di Kuala Lumpur belum lama ini, AS, Jepang, Korea Selatan, Rusia, dan China justru meminta ASEAN untuk bisa mendudukkan mereka bersama dengan Korea Utara," papar Hassan.

Dengan berkah kedamaian dan ketenangan itulah, tegas Menlu Hassan, masing-masing negara ASEAN bisa membangun negaranya sehingga mencapai pertumbuhan ekonomi yang mengesankan sekarang ini. Singkatnya, sesungguhnya banyak sekali manfaat dari 39 tahun keberadaan ASEAN, tetapi pencapaian itu umumnya tidak kasatmata sehingga dianggap sesuatu yang biasa-biasa saja.

Meski belum bisa merangkul lebih banyak warga ASEAN, sesungguhnya cukup banyak anggota warga masyarakat di ASEAN yang sudah merasakan kegiatan ASEAN, antara lain melalui program pertukaran pelajar ASEAN, program Kapal ASEAN, dan lainnya. Akan tetapi, berbagai kegiatan itu memang belum cukup untuk meningkatkan komunikasi antarwarga di 10 negara anggota.

Indikasi mengenai hal ini, antara lain, bisa dilihat dari aktivitas perdagangan di antara negara-negara anggota (intra) ASEAN, yang diakui Dirjen Kerja Sama ASEAN hingga saat ini masih tetap rendah, yaitu sekitar 22,5 persen pada 2004. Angka itu masih jauh tertinggal dibandingkan perdagangan intra NAFTA (Kawasan Perdagangan Bebas Amerika Utara) yang berkisar 41-44 persen, terlebih lagi intra Uni Eropa yang berkisar 53-56 persen.

Piagam ASEAN

Sebagai bagian dari menjadikan ASEAN sebagai organisasinya seluruh rakyat ASEAN, sejak tahun 2005 para pemimpin ASEAN sudah memutuskan dimulainya proses pembuatan Piagam ASEAN (ASEAN Charter) sebagai payung bersama ASEAN. Di dalam Piagam ASEAN inilah tujuan sekaligus arah ASEAN untuk menjadi organisasinya seluruh rakyat ASEAN akan ditekankan.

Ali Alatas yang merupakan salah seorang anggota Eminent Persons Group (EPG) penyusunan Piagam ASEAN menjelaskan, sementara ini pemikiran di kalangan EPG mengenai keikutsertaan masyarakat dalam kegiatan ASEAN menjurus ke arah pembentukan "channels" ataupun "processes of consultation" dengan paling sedikit tiga kelompok, yaitu Organisasi antarparlemen ASEAN (AIPO), masyarakat bisnis, dan masyarakat sipil di negara ASEAN. Konsultasi reguler itu meliputi aspek penentuan arah kebijaksanaan pada umumnya maupun aspek monitoring pelaksanaan keputusan atau komitmen yang telah disetujui bersama.

Menurut Guru Besar Antropologi Universitas Indonesia Amri Marzali, salah satu kebijakan untuk membangun sebuah komunitas ASEAN yang lebih solid dan akrab secara sosiokultural adalah memupuk, menggalakkan, dan mengembangkan semangat persamaan dan tolong-menolong.

Caranya adalah dengan memperbanyak acara dan kegiatan bersama, cepat tanggap jika ada anggota yang mendapat kemalangan dan kesulitan, menciptakan kegiatan bersama untuk menanggulangi masalah-masalah bersama, misalnya masalah Selat Malaka, masalah terorisme, dan masalah pengangguran.

Amri juga mengingatkan, pada kenyataannya komunitas ASEAN adalah sebuah komunitas gesellschaft, yaitu suatu masyarakat yang terbentuk dari komponen (masyarakat negara) yang beraneka ragam, tidak seragam, namun saling membutuhkan dan saling tergantung satu sama lain. Saling membutuhkan dan tergantung itu diwujudkan dalam saling pertukaran. Oleh karena itu, yang perlu dipikirkan adalah mencari dan menggiatkan saling pertukaran itu, mencari produk, keunggulan, serta keahlian yang khas dari setiap masyarakat negara ASEAN yang mungkin untuk terjadi pertukaran.

Sayangnya, sebagaimana diakui Dirjen Kerja Sama ASEAN Deplu RI, dibandingkan di bidang ekonomi, kerangka kerja di bidang sosial-budaya memang belum sangat terarah dan jelas. Meski demikian, Dian Triansyah menjelaskan, Vientiane Action Programme yang merupakan pedoman ASEAN untuk jangka pendek dan menengah 2004- 2010 sudah memfokuskan pada upaya untuk memperdalam integrasi regional dan mempersempit kesenjangan di dalam ASEAN.

Hal itu bisa dilihat dari gambaran penggunaan dana di ASEAN, di mana 55 persen dana adalah untuk menunjang Komunitas Sosial Budaya (ASCC), 32 persen untuk Komunitas Ekonomi (AEC), dan hanya 4 persen untuk Komunitas Keamanan (ASC), sementara 9 persen untuk upaya-upaya memperkecil kesenjangan pembangunan (NDG).

"Di bidang ekonomi ASEAN sudah cukup maju, tetapi di bidang sosial budaya tidak ada suatu mekanisme yang dapat mengoordinasi berbagai macam kegiatan. Sebagai contoh, pemuda jalan sendiri, wanita jalan sendiri di ASEAN, ada berbagai macam pertemuan tetapi tidak ada wadah yang mencoba mengoordinasikan itu menjadi langkah-langkah yang terintegrasi," kata Dian.

Berbagai kekurangan itulah yang akan segera dibenahi ASEAN dengan dukungan dari seluruh pemangku kepentingannya. Yang jelas, sebuah langkah awal telah dilakukan untuk lebih banyak merangkul warga ASEAN terlibat dalam berbagai kegiatan ASEAN dan memperbanyak kontak antarwarga ASEAN.

[source: www.kompas.com Minggu, 20 Agustus 2006, Dikutip langsung tanpa edit dari tulisan Rakaryan S]

Politics likely to delay India entry into Asean

India is citing the fear of political fallout and its suicide epidemic among farmers as obstacles to hammering out a free-trade deal with Southeast Asia, officials said. The agreement between India and the 10-member Asean is scheduled to come into force on January 1, ‘07, but negotiations have stalled over the list of mostly agricultural items to be exempted from tariff cuts. A senior official said that as an agricultural country, India was concerned over the prospect of political fallout from rural voters if it opens its markets. “The suicide level is high. The government is worried. It is an agricultural country. Politics is the issue,” he said. Indian federal officials said earlier this year that more than 8,900 farmers had committed suicide since ‘01 in four states hardest hit by the ongoing agricultural crisis. Ramon Vicente Kabigting, a director at the Philippines’ department of trade and industry, said he told his Indian counterpart last March that it should not use the suicide argument in the Free Trade Agreement (FTA) talks. “I dare not measure human suffering. All I know is that everyone around this table respects human dignity,” he said. “It is not an argument that is right to be used in an FTA,” he said. The ASEAN official said that India must cut its proposed exclusion list during talks with the region’s economic ministers here next week. ”FTA negotiations with India are stuck. There is no real movement,” he said on the sidelines of a meeting of ASEAN senior officials. “They should not have a long list of exclusions.” The number of products excluded from tariff reductions has been cut to 854 from the 1,414 India had originally proposed, but is still far higher than ASEAN’s target of 400. India, which adopted a free market economy in the early ’90s, is keen to expand trade ties with ASEAN, but wants to protect its own sensitive sectors, such as agriculture and textile which provide livelihoods to millions of Indians. Among the items on the exclusion list are imports of palm oil from Malaysia and Indonesia, and of tea and coffee from other ASEAN countries. Malaysia and Indonesia produce about 80% of the world’s supply of crude palm oil.

[source:http://economictimes.indiatimes.com/articleshow/1902474.cms, Jumat, Agustus 18, 2006 12:29:53 AM]